Belajar Islam

Cahaya di Atas Cahaya


Maksiat Menyebabkan Kerendahan, Kehinaan, dan Kekurangan

Di antara dampak maksiat adalah membuat pelakunya berada pada posisi orang-orang rendahan, padahal sebelumnya dia dipersiapkan untuk menempati posisi yang tinggi.

Allah menciptakan makhluknya terbagi dalam dua kelompok, mulia dan rendah. Allah menjadikan illiyyin (tempat yang setinggi-tingginya) sebagai tempat untuk orang-orang yang mulia dan menyediakan asfala safilin (tempat serendah-rendahnya) bagi orang-orang hina. Dia menjadikan orang-orang yang taat sebagai orang-orang termulia (tinggi derajatnya) di dunia dan akhirat. Sebaliknya, Dia menjadikan orang-orang durhaka bagi-Nya sebagai serendah-rendah makhluk di dunia maupun di akhirat. Dia memuliakan kelompok pertama dan merendahkan kelompok kedua.

Tercantum dalam Musnad Ahmad,[251] dari Abdullah bin Amr, dari Nabi, beliau bersabda:

(( بُعِثْتُ بِالسَّيْفِ بَيْنَ يَدَيِ السَّاعَةِ، وَجُعِلَ رِزْقِي تَحْتَ ظِلِ رُمْحِي، وَجُعِلَ الدُّل وَالصَّغَارُ عَلَى مَنْ خَالَفَ أَمْرِيْ.))

“Aku diutus dengan pedang menjelang hari Kiamat. Dijadikan rizkiku di bawah bayang-bayang tombakku serta dijadikan kehinaan dan kerendahan atas orang yang menyelisihi perintahku.”

Jika seorang hamba melakukan suatu maksiat, maka dia turun satu derajat lebih rendah. Hal ini berlangsung terus-menerus hingga pelakunya termasuk kelompok orang-orang yang paling rendah. Demikian pula, jika seorang hamba melakukan ketaatan, maka dia naik satu derajat. Hal ini pun terjadi terus-menerus hingga pelakunya termasuk kelompok orang-orang yang paling tinggi.

Terkadang, dalam kehidupan sehari-hari seorang hamba, terkumpul padanya derajat yang turun dan naik dari sisi yang berbeda-beda. Pelakunya akan digolongkan kepada derajat yang lebih dominan dari keduanya. Tidaklah orang yang naik seratus derajat dan turun satu derajat sama dengan orang yang berbuat sebaliknya.

Namun, terkadang sejumlah orang melakukan kesalahpahaman yang besar. Dalam sekali jatuh, seorang hamba bisa saja mencapai jarak yang lebih jauh daripada jarak antara timur dan barat, atau jarak antara langit dan bumi. Pada kasus seperti ini, naik seribu derajat pun tidak akan sebanding dengan sekali jatuh yang demikian itu.

Disebutkan di dalam ash-Shahih,[252] dari Nabi, bahwasanya beliau bersabda:

(( إِنَّ الْعَبْدَ لَيَتَكَلَّمُ بِالْكَلِمَةِ لَا يُلْقِي لَهَا بَالًا يَهْوِي بِهَا فِي النَّارِ أَبْعَدَ مِمَّا بَيْنَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِب))

“Sesungguhnya seorang hamba terkadang berbicara dengan suatu kalimat yang dianggapnya sepele, (padahal sebenarnya itulah) yang menyebabkannya jatuh ke dalam Neraka, yang jaraknya lebih jauh daripada jarak antara timur dan barat.”

Adakah kenaikan derajat atau kedudukan yang mampu menandingi tingkat kejatuhan tersebut?

Jatuhnya seorang hamba merupakan perkara yang lazim. Bahkan, sebagian orang yang terjatuh dalam kelalaian itu sadar sehingga dapat kembali ke derajatnya semula, atau bahkan lebih tinggi, tergantung tingkat kesadarannya.

Sebagian lagi terjatuh dalam perkara mubah, yang tidak diniatkan sebagai sarana pembantu dalam menunaikan ketaatan kepada Allah.

Jenis ini, apabila orang itu kembali kepada ketaatan, maka dia akan kembali ke derajat semula. Tidak menutup kemungkinan dia tidak mencapainya; atau bahkan melebihinya. Terkadang tekad seseorang menjadi lebih tinggi dibandingkan semula, terkadang menjadi lebih lemah, dan terkadang kembali seperti semula.

Sebagian lagi terjatuh dalam dosa, baik dosa kecil maupun besar. Jenis ini, untuk kembali kepada derajatnya semula, membutuhkan taubat yang sebenar-benarnya, yaitu taubat nashuba.

Terdapat perselisihan pendapat. Apakah setelah bertaubat, pelaku dosa dapat kembali ke derajatnya semula, dengan dalil bahwa taubat menghilangkan efek dari dosa dan menjadikan wujud dosa tersebut seperti tiada, bahkan seolah-olah tidak pernah terjadi, ataukah pelaku dosa tadi tidak dapat kembali ke derajatnya semula?

Pendapat kedua (yaitu tidak dapat kembali ke derajatnya semula) berdalil bahwa pengaruh taubat hanya berlaku dalam hal menggugurkan hukuman (adzab). Maka derajat yang terlewatkan oleh pelaku dosa tidak dapat dicapainya kembali.

Mereka berpendapat: “Ketetapan itu diambil dari waktu yang digunakan pelaku dosa ketika melakukan maksiat, yang seharusnya digunakan dalam ketaatan, untuk meninggikan derajatnya dan menaikkan amal perbuatan rendah yang sebelumnya. Hal ini serupa dengan orang yang setiap hari mendapat keuntungan dari hartanya. Jika harta tersebut bertambah, maka keuntungannya bertambah.

Saat melakukan maksiat, pelakunya telah kehilangan kenaikan derajat dan keuntungan karena amal perbuatannya. Jika ia kembali beramal shalih, maka derajatnya naik kembali dari tingkatan yang bawah. Padahal sebelumnya, derajatnya naik dari tingkatan teratas ke tingkatan yang lebih tinggi, dan perbedaan kedua tingkatan itu sangat besar

Mereka juga mengatakan bahwa permisalan dalam hal ini adalah seperti dua orang yang menaiki dua buah tangga yang tak berujung. Awalnya, keduanya berada pada posisi dan ketinggian yang sama, kemudian salah satunya turun ke bawah, lantas naik kembali. Orang yang tidak pernah turun pasti mengungguli orang yang pernah turun, meskipun turunnya tersebut hanya satu derajat.”

Dalam masalah ini, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah memberi penjelasan yang dapat diterima kedua kelompok tadi. Beliau berkata: “Jika diamati secara teliti, akan jelas bahwa sebagian orang yang bertaubat kembali ke derajat yang lebih tinggi daripada derajat semula, sebagian lagi kembali ke derajatnya semula, dan sebagian lagi tidak mampu mencapai derajatnya semula.”

Saya berpendapat: “Yang demikian itu sesuai dengan kekuatan dan kesempurnaan taubat serta pengaruh yang ditimbulkan maksiat kepada pelakunya, yaitu berupa kerendahan diri, keinginan untuk kembali kepada-Nya, kewaspadaan, takut kepada-Nya, dan menangis karena rasa takut tersebut. Perkara-perkara tadi terkadang menguat sehingga orang yang bertaubat kembali ke derajat yang lebih tinggi dibanding derajatnya semula. Setelah bertaubat, kondisi pelaku dosa menjadi lebih baik dibandingkan sebelum melakukan maksiat. Pada kondisi ini, maksiat tersebut berubah menjadi rahmat untuk golongan ini. Sebab, maksiat tadi menghilangkan rasa takjub terhadap diri sendiri, melenyapkan rasa kurang percaya diri dan menghapus sikap membanggakan amalan, lalu membuatnya menyesal, merendah, dan menghinakan diri di gerbang Sang Penolong. Maksiat itu membuatnya mengenal keterbatasannya, kefakirannya, serta kebutuhannya yang sangat terhadap penjagaan dari Allah, maaf, dan ampunan-Nya; lantas mengeluarkan dari hatinya rasa angkuh yang timbul dari ketaatannya, sehingga ia menjadi rendah hati, tidak sombong, dan tidak memandang dirinya lebih baik daripada orang lain. Ia pun berdiri di hadapan Rabbnya sebagaimana layaknya orang-orang yang bersalah dan berdosa, menundukkan kepalanya, malu, gemetar, serta takut kepada-Nya. Ia merasa bahwa ketaatannya sangat kurang, sedangkan kemaksiatannya sangat besar. Ia mengakui kekurangan dan keburukan dirinya, sementara hanya Rabbnya semata yang memiliki kesempurnaan dan pujian.”

Hal ini sebagaimana dikatakan dalam syair:

hanya Allah yang memiliki segala kesempurnaan dan pujian, sedangkan manusia bersandingkan kekurangan dan celaan

Nikmat apa pun yang diterima orang itu dari Allah akan dianggapnya berlimpah, bahkan dia melihat dirinya belum pantas menerima nikmat tersebut. Begitu pula, pada saat musibah dan bencana menimpa dirinya, dia melihat dirinya memang layak ditimpa bencana, bahkan yang lebih besar. Ia memandang Allah telah berbuat baik kepadanya, ketika hukuman atas kemaksiatannya ternyata tidak sebanding dengan maksiatnya, atau separuhnya, bahkan belum sebanding dengan bagian terkecil dari maksiat yang dilakukannya.

Sungguh, hukuman yang seharusnya diterima pelaku maksiat tidak akan sanggup dipikul oleh gunung-gunung yang kokoh, apalagi dipikul seorang hamba yang lemah dan tak berdaya. Sungguh, yang dihadapi pelaku dosa-meskipun dosa itu kecil-adalah Dzat yang Mahaagung, tidak ada yang lebih agung dari-Nya; Mahabesar, tidak ada yang lebih besar daripada-Nya; Mahamulia, tidak ada yang lebih mulia daripada-Nya; serta Dzat yang memberikan seluruh nikmat, baik besar maupun kecil. Ini adalah perkara yang paling jelek, buruk dan keji. Andaikan ini ditujukan kepada para pemimpin dan petinggi yang mulia dari kalangan manusia, tentu akan dianggap buruk oleh setiap orang, baik Mukmin ataupun kafir.

Orang yang paling hina serta tidak memiliki harga diri adalah orang yang menunjukkan perbuatan-perbuatan rendah di hadapan manusia. Lantas, bagaimana jika hal itu dihadapkan kepada Dzat yang Mahaagung, Pemilik, serta Ilah langit dan bumi? Sekiranya bukan karena rahmat-Nya yang mengalahkan murka-Nya, serta ampunan-Nya yang mendahului hukuman-Nya, tentulah bumi telah menolak setiap makhluk yang berada di atasnya, disebabkan hal-hal yang tidak sepantasnya mereka lakukan. Seandainya bukan karena Sifat-Nya yang penyantun dan ampunan-Nya, tentulah langit dan bumi akan berguncang disebabkan kemaksiatan para hamba.

Allah berfirman:

إِنَّ اللَّهَ يُمْسِكُ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضَ أَن تَزُولاً وَلَين زَالَتَا إِنْ أَمْسَكَهُمَا مِنْ أَحَدٍ مِنْ بعدِهِ إِنَّهُ كَانَ حَلِيمًا غَفُورًا )

“Sungguh, Allah yang menahan langit dan bumi agar tidak lenyap; dan jika keduanya akan lenyap tidak ada seorang pun yang mampu menahannya selain Allah. Sungguh, Dia Maha Penyantun, Maha Pengampun.” (QS. Fathir: 41)

Perhatikanlah, Rabb kita menutup ayat di atas dengan dua nama dari nama-nama-Nya, yaitu: (Yang Maha Penyantun) dan (Yang Maha Pengampun). Apa yang kamu dapatkan dari naungan kedua nama tersebut? Sekiranya bukan karena Sifat-Nya yang penyantun dan ampunan-Nya, niscaya langit dan bumi tidak akan mampu bertahan.

Allah mengabarkan akibat sebagian perbuatan kufur yang dilakukan para hamba-Nya, yaitu:

تكَادُ السَّمَوَاتُ يَنْفَطَرْنَ مِنْهُ وَتَنشَقُ الْأَرْضُ وَتَخِرُ الجِبَالُ هَدًّا )

“Hampir saja langit pecah, dan bumi terbelah, dan gunung-gunung runtuh, (karena ucapan itu).” (QS. Maryam: 90)

Allah mengeluarkan bapak dan ibu manusia dari Surga disebabkan keduanya mengerjakan satu dosa dan mengerjakan larangan-Nya. Iblis dilaknat, diusir, serta dikeluarkan dari kerajaan langit dan bumi disebabkan ia mengerjakan satu dosa karena menyelisihi perintah-Nya. Sementara kita, hai kumpulan orang-orang dungu, adalah seperti yang dinyatakan dalam syair:

نَصِل الذُّنُوبَ إِلَى الذُّنُوبِ ونَرْتَجِيْ * دَرَجَ الْجِنَانِ لَدَى النَّعِيمِ الخَالِدِ وَلَقَدْ عَلِمْنَا أَخْرَجَ الْأَبَوَيْنِ مِنْ * مَلَكُوتِهِ الْأَعْلَى بِذَنْبٍ وَاحِدِ

Kita menyambung dosa dengan dosa lain dan mengharapkan derajat Surga di sisi kenikmatan yang kekal. Padahal, kita mengetahui bahwa bapak dan ibu kita dikeluarkan dari kerajaan-Nya yang tertinggi disebabkan satu dosa.

Maksudnya, terkadang kondisi hamba yang telah bertaubat menjadi lebih baik daripada sebelum berbuat dosa, bahkan derajatnya menjadi lebih tinggi. Namun, maksiat juga bisa melemahkan tekad pelakunya dan membuat hatinya terkena penyakit, yaitu ketika terapi taubat tidak mampu mengembalikan kesehatan hatinya dan membuatnya kembali ke derajat semula. Bisa jadi, penyakit tersebut kemudian hilang, kesehatan hatinya menjadi pulih seperti sedia kala, ia kembali melakukan amal shalih yang dahulu, hingga kembali ke derajat semula.

Semua yang kami sebutkan ini adalah jika derajat seorang hamba turun karena maksiat. Namun, jika derajat hamba tadi turun karena perkara-perkara yang merusak pokok keimanannya, seperti bimbang, ragu, dan munafik; maka penurunan derajat seperti ini tidak dapat diharapkan kenaikannya lagi, kecuali apabila pelakunya memperbarui pokok keislamannya.

***

~ Ibnu Qayyim al-Jauziyyah | Ad-Daa’ wad Dawaa’ ~

[251] Hadits hasan. Telah disebutkan penjelasannya.
[252] HR. Al-Bukhari (no. 6112) dan Muslim (no. 2988).



Leave a comment