Belajar Islam

Cahaya di Atas Cahaya


Wafatnya Abu Thalib

Pada saat Abu Thalib jatuh sakit dan kaum Quraisy mendengar berita itu, sementara Hamzah dan Umar Radhiyallahu Anhuma telah masuk Islam dan dakwah Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam sudah mulai menyebar di berbagai kabilah di Mekah, maka kaum Quraisy mengirimkan satu delegasi kepada Abu Thalib. Para delegasi mengatakan kepadanya, “Wahai Abu Thalib, Anda telah mengetahui akan kedudukan Anda di mata kami, kini telah hadir kepada Anda satu kondisi seperti ini dan kami sangat mengkhawatirkan Anda. Lalu mereka memohon kepada Abu Thalib agar melarang Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam berdakwah kepada mereka. Ketika Rasulullah hadir, beliau berkata, “Serulah mereka agar mau mengatakan satu kalimat saja yang jika mereka lakukan, maka semua bangsa Arab akan taat kepada mereka dan mereka pun akan menguasai bangsa ajam (non-Arab).” Abu Jahal berkata, “Apa kalimat tersebut, demi Allah, kami pun siap memberikan sepuluh kalimat untukmu.” Rasul menjawab, “Katakan Laa ilaha Illallah dan tinggalkan semua yang kalian sembah selain Allah.” Maka mereka menjawab, “Apakah dia (Muhammad) hendak mengubah tuhan-tuhan yang banyak itu menjadi hanya satu Tuhan?” Maka turunlah firman Allah:

م وَالْقُرْءَانِ ذِي الذِّكْرِ بَلِ الَّذِينَ كَفَرُوا فِي عِزَّةٍ وَشِقَاقٍ كَمْ أَهْلَكْنَا مِن قَبْلِهِم مِّن قَرْنٍ فَنَادَوا وَلَاتَ حِينَ مَنَاصٍ ) وَعَجِبُوا أَن جَاءَهُم تُنذِرُ مِنْهُمْ وَقَالَ الْكَافِرُونَ هَذَا سَاحِرٌ كَذَّابٌ أَجَعَلَ الْآلِهَةَ إِلَيْهَا وَاحِدًا إِنَّ هَذَا لَشَيْءٍ عُجَابٌ وَانطَلَقَ الْمَلَأُ مِنْهُمْ أَنِ امْشُوا وَاصْبِرُوا عَلَى الهَتِكُمْ إِنَّ هَذَا لَشَيْءٌ يُرَادُ ) مَا سَمِعْنَا بِهَذَا فِي الْمِلَّةِ الْآخِرَةِ إِنْ هَذَا إِلَّا اخْتِلَاقُ )

“Shaad, demi Al-Quran yang mempunyai keagungan. Sebenarnya orang-orang kafir itu (berada) dalam kesombongan dan permusuhan yang sengit. betapa banyaknya umat sebelum mereka yang telah Kami binasakan, lalu mereka meminta tolong Padahal (waktu itu) bukanlah saat untuk lari melepaskan diri. dan mereka heran karena mereka kedatangan seorang pemberi peringatan (Rasul) dari kalangan mereka; dan orang-orang kafir berkata: “Ini adalah seorang ahli sihir yang banyak berdusta”, mengapa ia menjadikan tuhan-tuhan itu Tuhan yang satu saja? Sesungguhnya ini benar-benar suatu hal yang sangat mengherankan. dan Pergilah pemimpin-pemimpin mereka (seraya berkata): “Pergilah kamu dan tetaplah (menyembah) tuhan-tuhanmu, Sesungguhnya ini benar-benar suatu hal yang dikehendaki. Kami tidak pernah mendengar hal ini dalam agama yang terakhir; ini (mengesakan Allah), tidak lain hanyalah (dusta) yang diada-adakan.” (QS. Shad: 1-7).

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu berkata, Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam berkata kepada pamannya, “Katakanlah laa ilaaha illallah yang dengannya, aku akan menjadi saksi bagimu pada hari kiamat.” Abu Thalib menjawab, “Seandainya orang-orang Quraisy tidak mencibir aku, dengan mengatakan Abu Thalib tertarik mengikuti Muhammad dikarenakan rasa marah, niscaya aku akan membuatmu senang dengan mengucapkan kalimat tersebut.” Maka Allah menurunkan firman- Nya,³⁰³

إِنَّكَ لَا تَهْدِي مَنْ أَحْبَبْتَ وَلَكِنَّ اللَّهَ يَهْدِي مَن يَشَاءُ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ

“Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah akan memberi petunjuk kepada orang yang dikehen- daki-Nya, dan Allah lebih mengetahui orang-orang yang meu menerima petunjuk.” (QS. Al-Qashash: 56)

Dari Said bin Al-Musayyib dari ayahnya mengatakan, (Ketika ajal kematian datang kepada Abu Thalib, datanglah Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam kepadanya dan didapati oleh beliau di dekatnya Abu Jahal dan Abdullah bin Umayyah bin Al-Mughirah, maka Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam berkata, “Wahai pamanku, ucapkanlah Laa ilaha Illallah, suatu kalimat yang dengannya, aku akan menjadi saksi untukmu kelak di hadapan Allah.” Maka Abu Jahal dan Abdullah bin Umayyah mengatakan: “Wahai Abu Thalib, apakah kamu tidak menyukai agama Abdul Muththalib?”

Rasulullah pun terus mengulangi ajakannya kepada Abu Thalib enggan mengulang-ulang kalimat tersebut sampai kata terakhir yang ia ucapkan kepada mereka adalah “Dia tetap pada agama Abdul Muththalib”, dan tidak mau mengucapkan Laa ilaha Illallah. Oleh karena itu, Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam mengatakan, “Kalau begitu, demi Allah, aku akan memohonkan ampunan untukmu selama aku tidak dilarang untuk itu”, maka Allah menurunkan firman-Nya,

مَا كَانَ لِلنَّبِيِّ وَالَّذِينَ ءَامَنُوا أَن يَسْتَغْفِرُوا لِلْمُشْرِكِينَ وَلَوْ كَانُوا أُولِي قُرْبَى مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُمْ أَصْحَابُ الْجَحِيمِ )

“Tiadalah sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang yang beriman memintakan ampun (kepada Allah) bagi orang-orang musyrik, walaupun orang musyrik itu adalah kaum kerabatnya, sesudah jelas bagi mereka bahwasanya orang musyrik itu adalah penghuni neraka jahannam.” (QS. At-Taubah: 113).

Dan Allah Taala menurunkan secara khusus berkenaan dengan Abu Thalib ini, firman-Nya kepada Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam.³⁰⁴

إِنَّكَ لَا تَهْدِي مَنْ أَحْبَبْتَ وَلَكِنَّ اللَّهَ يَهْدِي مَن يَشَاءُ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ

“Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki- Nya, dan Allah lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk.” (QS. Al-Qashash: 56)

Dan dari Abbas bin Abdul Muththalib Radhiyallahu Anhu, bahwa ia bertanya kepada Nabi Shallallahu Alaihi wa sallam, “Apa manfaat yang kamu berikan kepada pamanmu (Abu Thalib) karena dia dulu yang membela kamu dan marah demi kamu?” Beliau bersabda,

هُوَ فِي ضَحْضَاحٍ مِنَ النَّارِ، وَلَوْلَا أَنَا لَكَانَ فِي الدَّرْكِ الْأَسْفَلِ مِنَ النَّارِ

“Ia berada di tempat yang dangkal (tidak berada di bagian dasar) dari neraka. Seandainya bukan karena aku niscaya dia berada pada tingkatan paling bawah di dalam neraka.” ³⁰⁵

Dan dari Abdullah bin Abbas Radhiyallahu Anhuma bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa sallam bersabda,

أَهْوَنِ أَهْلِ النَّارِ عَذَابًا أَبُوْ طَالِبٍ، وَهُوَ مُنْتَعِلٌ بِنَعْلَيْنِ يَغْلِي مِنْهُمَا دِمَاغُهُ.

“Penghuni neraka yang paling ringan siksaannya adalah Abu Thalib. Dia memakai dua sandal (dari api) hingga mendidih otaknya (karena panasnya kedua sandal itu).”³⁰⁶

Kematian Abu Thalib terjadi pada tahun kesepuluh kenabian,³⁰⁷ dia meninggal dalam usia 80 tahun lebih.³⁰⁸ Dia banyak membela Nabi Shallallahu Alaihi wa sallam dan mencegah siapa pun yang akan menyakiti dan mengganggu beliau. Namun begitu, ia masih tetap berpegang teguh pada agama kaumnya hingga ajal menjemputnya.³⁰⁹

Hikmah (pelajaran) yang bisa dipetik:

Pelajaran yang dapat dipetik dalam peristiwa ini:

1. Keagungan kalimat Laa ilaaha illallah yang dengannya akan tunduk bangsa Arab maupun bangsa ajam (non-Arab), dan dengannya pula Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam akan membela pamannya seandainya ia mau mengucapkannya.

Kalimat ini adalah syahadat tauhid yang intinya untuk mengesakan Allah di dalam pengabdian (ibadah). Barangsiapa yang mengesakan Allah dalam beribadah, maka ia akan merasa aman dari pengabdian kepada sesama makhluk dan menganggap agung apa yang ada dalam kekuasaan makhluk.

Hakikat tauhid adalah pengetahuan yang benar tentang tauhid tersebut dan mendalami intinya serta merealisasikannya dalam bentuk ilmu dan amal. Prinsipnya adalah bahwa jiwa akan mempunyai ketertarikan yang kuat kepada Allah, baik dengan rasa cinta, takut, taubat, tawakkal, berdoa, ikhlas dan mengagungkan-Nya dengan pengabdian yang besar dan me-Mahabesarkan-Nya. Artinya, di dalam hatinya, tak ada sesuatu apa pun selain daripada Allah, tidak ada kemauan terhadap apa yang diharamkan oleh Allah dan tidak ada kebencian kepada apa yang diperintahkan oleh Allah. Itulah hakikat kalimat Laa ilaha Illallah.³¹⁰

2. Kita mendapatkan sebuah pelajaran dari sikap orang-orang kafir Quraisy ketika mereka menyatakan siap menerima apa pun kalimat yang ditawarkan oleh Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam. Akan tetapi, ketika mereka mengetahui bahwa ternyata kalimat yang diminta oleh Nabi adalah Laa ilaha illallah, mereka pun menolak dan mengatakan, “Apakah kamu akan menjadikan tuhan-tuhan sembahan yang banyak itu hanya menjadi satu Tuhan?” Jadi, kaum musyrikin itu mengerti kandungan makna kalimat tauhid ini, mereka memahami akan konsekuensi kalimat tersebut bahwa mereka harus meninggalkan semua berhala yang selama ini mereka thawaf (berkeliling) dan menyembahnya selain Allah.

Rupanya orang-orang musyrik itu lebih mengerti kandungan kalimat Tauhid ini daripada banyak orang yang hanya mengucapkan Laa ilaha illallah lalu mereka merusaknya sendiri dengan amal perbuatan mereka. Yaitu ketika mereka berkeliling mengitari kuburan atau meminta-minta kepadanya atau mempersembahkan sesajen-sesajen, mereka berharap mendapat manfaat atau takut mendapatkan murka atau bahaya darinya. Bahkan ada sebagian dari mereka yang berkeliling mengitari kuburan itu sambil mengucapkan Laa ilaah illallah, sementara ia tidak mengetahui akan kontradiksi antara ucapan dan perbuatannya itu.

Tauhid merupakan intisari dakwah para Nabi seluruhnya. Barangsiapa yang datang menghadap Allah dengan membawa tauhid yang benar, maka ia akan selamat dan barangsiapa yang menyekutukan Allah dengan sesuatu sembahan lain-Nya, maka ingatlah akan firman Allah Ta’ala, “Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa syirik dan Dia mengampuni segala dosa selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki- Nya.” (QS. An-Nisaa’: 48)

3. Barangkali kita bertanya-tanya tentang hikmah apa yang ada di balik tetapnya Abu Thalib di dalam agama kaumnya hingga ajal menjemputnya, padahal ia telah banyak membantu dan membela Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam. Imam Ibnu Katsir Rahimahullah mengatakan, “Sesungguhnya Allah telah menguji hati Abu Thalib dengan perasaan cintanya kepada Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam secara tabiat bukan cinta atas dasar agama. Dengan tetapnya Abu Thalib mengikuti agama kaumnya itu merupakan hikmah besar dari Allah agar dia tetap bisa melakukan peran perlindungan dan pembelaan kepada Rasulullah. Karena seandainya Abu Thalib masuk Islam, pastilah ia tidak memiliki kewibawaan lagi di mata kaum musyrikin Quraisy, mereka tidak mau mendengar ucapan dan tidak menghormatinya lagi, bahkan mereka akan berani menentangnya dan menyakitinya, baik dengan lisan maupun perbuatan mereka. Begitulah hikmahnya, Allah menciptakan apa yang Dia kehendaki dan memilihnya secara tepat.”³¹¹

Imam Ibnul Qayyim mengatakan, “Sungguh merupakan hikmah Allah yang sangat besar ketika Abu Thalib tetap pada agama kaumnya, sebab di dalamnya terdapat kemaslahatan yang sangat banyak bagi siapa pun yang mampu merenungkannya.”³¹²

4. Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam telah berusaha sekuat tenaga untuk membimbing pamannya agar mendapatkan hidayah Islam. Akan tetapi, pada detik-detik terakhir kehidupan Abu Thalib, ia didatangi teman-temannya yang buruk, sehingga setiap kali dibimbing Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam agar ia mengucapkan Laa ilaah illallah, kawan-kawan buruknya itu mengingatkannya akan agama Abdul Muththalib. Oleh karena itu, Abu Thalib pun tetap memegang teguh agama ayahnya dan meninggal dunia dalam keadaan musyrik karena ia menolak mengucapakan Laa ilaah illallah. Sungguh ini kerugian yang tiada taranya, disebabkan oleh persahabatan dengan teman yang buruk, yang biasanya selalu menyesatkan dan menyebar kerusakan di tengah masyarakat, yang kadang sulit dideteksi pengaruh mereka, kecuali setelah terlambat. Sebagaimana firman Allah:

وَيَوْمَ يَعَضُّ الظَّالِمُ عَلَى يَدَيْهِ يَقُولُ يَلَيْتَنِي اتَّخَذْتُ مَعَ الرَّسُولِ . سبيلا يَوَيْلَتَى لَيْتَنِي لَمْ أَتَّخِذْ فُلَانًا خَلِيلًا ( لَقَدْ أَضَلَّنِي عَنِ الذِّكْرِ بَعْدَ إِذْ جَاءَنِي وَكَانَ الشَّيْطَانُ لِلْإِنسَانِ خَذُولًا )

“Dan( ingatlah) hari (ketika itu) orang-orang yang zalim menggigit dua tangannya, seraya berkata: “Aduhai kiranya (dulu) aku mengambil jalan bersama-sama Rasul.” Kecelakaan besarlah bagiku; kiranya aku (dulu) tidak menjadikan si fulan itu sebagai teman akrabku. Sesungguhnya dia telah menyesatkan aku dari Al-Qur’an ketika Al-Qur’an itu telah datang kepadaku. Dan adalah syaitan itu tidak mau menolong manusia.” (QS. Al-Furqan: 27-29)

5. Sangatlah besar laknat Allah kepada yang buruk karena merekalah, seorang sahabat tergoda untuk berbuat jahat. Selain disebabkan sahabat yang buruk sehingga Abu Thalib mengalami su’ ul khatimah (buruk di akhir hayatnya), begitu pula tradisi dan budaya juga mempunyai pengaruh besar atas kematian Abu Thalib di dalam kemusyrikan³¹³. Hal ini dinyatakan oleh Abu Thalib, sebelum menghembuskan napasnya yang terakhir, kepada Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam:

لَوْلَا أَنْ تُعَيِّرَنِي قُرَيْشٍ لَأَقْرَرْتُ بِهَا عَيْنَكَ.

“Sekiranya (aku tidak khawatir) kaum Quraisy akan mencela diriku, niscaya aku senangkan hatimu dengan (ku ucapkan) kalimat syahadat itu.”

6. Bahwa ketentuan baik dan buruknya seseorang ada pada akhir hayatnya. Sekiranya Abu Thalib kafir sepanjang hidupnya, tetapi ia mengakhiri hidupnya dengan masuk agama Tauhid, niscaya surga akan ia raih. Kondisi ini mengingatkan kita pada pentingnya akhir dari setiap perbuatan, bahwa penilaian baik dan buruk ada padanya. Barangsiapa yang memahami dengan benar nilai Husnul khatimah (akhir hayat yang baik) ini, niscaya ia tidak akan melakukan suatu dosa karena khawatir kalau usianya akan ditutup dengan dosa tersebut. Allah berfirman:

يَتَأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَائِهِ، وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنتُم مُّسْلِمُونَ )

“Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dengan sebenar-benar takwa dan janganlah sekali-kali kamu mati kecuali kamu dalam keadaan Islam.” (QS. Ali Imran: 102)

7. Bahaya bertaklid kepada nenek moyang dan mengikuti semua tradisi dan budaya mereka tanpa memperhatikan batasan-batas- an syar’i. Hal ini bisa kita lihat pada saat Abu Thalib diajak oleh Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam untuk masuk Islam, ia selalu menjawab bahwa ia tetap berpegang teguh pada tradisi nenek-moyang, sebagaimana dinyatakan oleh Allah di dalam firman-Nya:

بَلْ قَالُوا إِنَّا وَجَدْنَا ءَابَاءَنَا عَلَى أُمَّةٍ وَإِنَّا عَلَى ءَاثَرِهِم مُهْتَدُونَ (٢)

“Bahkan mereka berkata: “Sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak kami menganut suatu agama, dan sesungguhnya kami ini orang-orang yang mendapat petunjuk dengan (mengikuti) jejak mereka.” (QS. Az-Zukhruf: 22)

Imam Ibnul Qayyim Rahimahullah mengatakan, “Tidak ada sesuatu yang paling berbahaya bagi seseorang daripada kekuasaan tradisi atas dirinya. Sebab orang-orang kafir itu tidak menentang para Rasul, melainkan disebabkan tradisi dan budaya yang telah melekat, yang mereka warisi dari generasi-generasi sebelumnya. Oleh karena itu, barang siapa yang tidak memiliki sikap tegas dalam dirinya untuk keluar dari kekuasaan tradisi dan budayanya kemudian ia menyiapkan dirinya untuk menerima apa yang sebenarnya harus ia lakukan, maka ia akan terhalang dari kesuksesan dan rahmat dari Allah Ta’ala.”³¹⁴

Sesungguhnya hidayah (petunjuk) berada di Tangan Allah Ta’ala bukan di tangan manusia. Bagi setiap muslim, ia hanya wajib untuk berjuang sekuat tenaga untuk berdakwah, sementara taufik (pertolongan) untuk memperoleh hidayah berada di Tangan Allah Ta’ala. Tanggung jawab seorang da’i hanyalah mengarahkan (Hidayah Ad- Dilaalah) dan membimbing (Hidayah Al-Irsyad), sebagaimana firman Allah:

وَإِنَّكَ لَتَهْدِى إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ ()

“Dan sesungguhnya engkau benar-benar memberi petunjuk ke jalan yang lurus.” (QS. Asy-Syuura: 52)

Seorang da’i tidaklah bertanggung jawab untuk memberi kesuksesan mendapatkan petunjuk itu (Hidayah At-Taufiq) sebagaimana dalam firman Allah Ta’ala:

إِنَّكَ لَا تَهْدِي مَنْ أَحْبَبْتَ وَلَكِنَّ اللَّهَ يَهْدِي مَن يَشَاءُ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ

“Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki- Nya, dan Allah lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk”. (QS. Al-Qashash: 56)

Hal ini merupakan hiburan bagi setiap da’i ketika ia terkadang melihat segala usaha dakwahnya terlihat sia-sia. Oleh karena itu, ketika ia mengingat usaha Rasulullah Shallallahu Alaihi wa sallam yang tidak berhasil untuk mengislamkan Abu Thalib sehingga beliau berulang-ulang mengajaknya, tetapi Abu Thalib tetap tidak mau menerima petunjuk dan tidak ditakdirkan untuk beruntung mendapatkan hidayah Islam.

9. Betapa dahsyatnya adzab neraka. Abu Thalib yang diadzab pada tempat yang dangkal di neraka sehingga sampai pada kedua mata kakinya, yang karena panasnya sehingga otaknya mendidih. Meskipun demikian, Abu Thalib adalah ahli neraka yang paling ringan siksaannya. Sungguh betapa dahsyatnya adzab neraka yang lebih dari itu. Allah Ta’ala berfirman, “Maka segeralah kembali (mentaati) Allah. Sesungguhnya aku pemberi peringatan yang nyata dari Allah untukmu. Dan janganlah kamu mengadakan tuhan yang lain di samping Allah. Sesungguhnya aku pemberi peringatan yang nyata dari Allah untukmu” (QS. Adz-Dzariyat: 50-51)

10. Kematian Abu Thalib adalah dalam kekafiran. Hal ini ditunkan oleh firman Allah Ta’ala, “Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya.” Imam Nawawi mengatakan, “Para Mufassir (ulama pakar tafsir) telah bersepakat bahwa ayat ini turun berkenaan dengan kasus kematian Abu Thalib.”³¹⁵

Allah Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman dalam hal ini: “Tiadalah sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang yang beriman memintakan ampun (kepada Allah) bagi orang-orang yang musyrik, walaupun orang-orang musyrik itu adalah kaum kerabat(nya), sesudah jelas bagi mereka, bahwasanya orang-orang musyrik itu adalah penghuni neraka jahannam.” (QS. At-Taubah: 113)

Disebutkan dalam dua kitab hadits yang shahih bahwa ayat ini turun setelah Nabi mengatakan berkenaan dengan pamannya, Abu Thalib: “Demi Allah, sungguh aku akan memintakan ampunan buatmu, selama aku tidak dilarang untuk itu. “³¹⁶

11. Kisah ini menunjukkan sahnya taubat atau keislaman seseorang menjelang kematiannya. Karena seandainya tidak sah taubat atau masuk Islamnya, niscaya Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam tidak menyuruh Abu Thalib untuk masuk Islam di saat ajalnya tiba. Akan tetapi, diterimanya taubat atau Islam seseorang itu, tentunya sebelum ia menyaksikan alam akhirat dan sebelum nyawa mulai dicabut (Naza’). Sebab apabila sudah dalam kondisi itu, tidak berguna lagi keimanan seseorang, sebagaimana firman Allah Ta’ala, “Tidaklah taubat itu diterima Allah dari orang-orang yang mengerjakan kejahatan (yang) hingga apabila datang ajal kepada seseorang di antara mereka, (barulah) ia mengatakan: “Sesungguhnya saya bertaubat sekarang.” Dan tidak pula diterima taubat orang-orang yang mati sedang mereka dalam keadaan kekafiran..”³¹⁷

12. Sebagaimana disebutkan pada hadits yang lalu tentang kalimat terakhir yang dikatakan oleh Abu Thalib kepada kaum Quraisy yaitu, bahwa “Dia tetap di atas agama Abdul Muththalib.” Imam Nawawi mengatakan ini menunjukkan etika yang sangat baik bahwa orang yang ingin menceritakan ucapan yang jelek dari seseorang, hendaknya ia menggunakan dhamir ghaib (kata ganti orang ketiga), sebagai isyarat akan keburukan ucapan tersebut.”³¹⁸

13. Dalam kisah ini nampak jelas pemenuhan hak-hak yang terkait  dengan sanak kerabat. Betapa besar perhatian dan harapan Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam untuk keislaman Abu Thalib. Hal itu disebabkan hubungan kekerabatan beliau dengannya, karena hak sanak kerabat jauh lebih besar daripada hak orang lain atas kita. Karenanya, Allah Ta’ala berfirman:

وَاعْبُدُوا اللَّهَ وَلَا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا وَبِذِي الْقُرْبَى

“Dan sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun. Dan berbuat baiklah kepada kedua ibu-bapa dan karib-kerabat.” (QS. An-Nisaa’: 36)

Dan Allah Ta’ala berfirman kepada Rasul-Nya,

وَأَنذِرْ عَشِيرَتَكَ الْأَقْرَبِينَ )

“Dan brilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat.” (QS. As- Syua’ra: 214)

Oleh karena itu, seorang muslim hendaknya memberikan perhatian yang lebih kepada sanak kerabatnya dengan mengajak, menasihati, dan mengarahkan mereka kepada kebaikan. Sementara itu, kita sering menjumpai orang yang aktif berdakwah untuk Islam, tetapi ia banyak melupakan sanak kerabatnya sendiri. Hal ini hendaknya menjadi perhatian bagi setiap da’i di jalan Allah.

14. Sebuah sikap balas budi yang baik ditunjukkan oleh Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam kepada pamannya, Abu Thalib, yang selama ini telah memberikan dukungan dan pembelaan yang patut dipuji karenanya.

Suatu ketika, Abbas bin Abdul Muththalib Radhiyallahu ‘Anhu bertanya kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam mengenai apa manfaat yang bisa beliau berikan kepada Abu Thalib sebagai bentuk balas budi beliau atas jasa-jasanya. Maka Rasulullah Shallallahu Alaihi twa Sallam menjelaskan kepada pamannya, Abbas, bahwa beliau tidak melupakan jasa-jasa Abu Thalib dengan memberikan syafaat yang sangat istimewa untuknya, sehingga ia hanya diletakkan pada neraka yang dangkal dan ia adalah ahli neraka yang paling ringan siksaannya. Seandainya bukan karena syafaat Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, niscaya Abu Thalib berada pada tingkatan paling bawah dalam neraka.³¹⁹

Begitulah yang seharusnya dilakukan oleh orang muslim, hendaknya ia berlaku loyal dan tidak segan-segan mengakui jasa baik orang- orang yang berjasa, serta berusaha membalas jasa mereka itu dengan sekuat tenaga.

15. Sesungguhnya penyebab diringankannya siksaan neraka atas Abu Thalib, padahal ia I ia mati dalam keadaan musyrik adalah sya- faat dari Nabi Shallallahau Alaihi wa sallam, bukan karena amal shalih Abu Thalib sendiri.

Dengan demikian tidak ada kontradiksi antara hadits tentang pemberian syafaat Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam kepada Abu Thalib ini dengan prinsip kita tentang tidak ada gunanya amal orang-orang yang menyekutukan Allah (kaum musyrikin). Karena peringanan siksa pada Abu Thalib ini merupakan keistimewaan (khushushiyah) yang dimiliki Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam dan sebagai bentuk kehormatan dari Allah yang diberikan kepada beliau, dengan diterima- Nya syafaat beliau untuk pamannya, Abu Thalib, padahal ia mati dalam keadaan musyrik. Dalam hal ini, Allah memiliki hak penuh untuk memberikan keistimewaaan kepada siapa pun yang Dia kehendaki. Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam sebagai penghulu para Nabi adalah orang yang paling berhak mendapatkan keistimewaan dan kehormatan tersebut.

***

³⁰³ Riwayat Imam Muslim, lihat Shahih Imam Muslim 1/55, nomor hadits 25.
³⁰⁴ Muttafaq Alaih: lihat Shahih Al-Bukhari yang diterbitkan dengan Fathul Bari 7/193 hadits nomor 3884, dan Shahih Muslim 1/54 nomor hadits 39, dan redaksi ini ada di Shahih Muslim.
³⁰⁵ Hadits riwayat Bukhari dalam Shaluh Al-Bukhari yang diterbitkan bersama Fathul Bari 7/193 hadits nomor 3883.
³⁰⁶ Hadits riwayat Muslim dalam Shahih Muslim 1/196, hadits nomor 362.
³⁰⁷ Lihat Ibnu Hajar dalam Fathul bari 7/194, dan di dalam Al-Ishabah 7/115-116. Ibnu Hajar berkata dalam Fathul Bari, “Abu Thalib meninggal di akhir tahun kesepuluh
³⁰⁸ Lihat Ibnu Hajar dalam Al-Ishabah fi Asma’i Asshahabah 7/116.
³⁰⁹ Hal ini dijelaskan dalam beberapa hadits shahih seperti yang sudah disebutkan di atas yang menyebutkan bahwa Abu Thalib berada di neraka, dan seandainya bukan karena syafaat Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, niscaya ia berada di dalam neraka. Na’udzu billah.
³¹⁰ pada tingkat terendah Asy-Syaikh Sulaiman bin Abdullah bin Muhammad bin Abdul Wahhab dalam Taisirul Azizil-Hamid, Syarah Kitabi At-Tauhid, hal 99.
³¹¹ Lihat: Ibnu Katsir dalam Al-Bidayah wan-Nihayah 3/45-46, dan Asy-Syaikh Muhammad bin Utsaimin dalam Syarah Al-Aqidah Al-Wasithiyah 2/176.
³¹² Ibnul Qayyim dalam Zaadu-Ma’aad 3/22.
³¹³ Lihat Salman Al-Audah dalam As-Sirah Annabawiyah fis-Shahihain “Inda Ibni Ishaq. hal. 199.
³¹⁴ Abdul Mun’im Al-‘Ali dalam Tulutzib Madarijis Salikin, Ibnul Qayyim: 104.
³¹⁵ An-Nawawi dalam Syarah Shahih Muslim 1/215.
³¹⁶ Muttafaq Alaih. Lihat Shahih Al-Bukhari yang diterbitkan bersama Fathul Bart 7/193 hadits nomor 3884, dan Shahih Muslim 1/54 hadits nomor 39.
³¹⁷ QS. An-Nisaa ayat 18. lihat penjelasannya dalam Syarah Shahih Muslim, Imam Nawawi 1/214.
³¹⁸ Lihat An-Nawawi dalam Syarah Shahih Muslim 1/214.
³¹⁹ Lihat, Ibnu Utsaimin dalam Syarah Al-Akidah Al-Wasithiyah 2/175.









Leave a comment