Belajar Islam

Cahaya di Atas Cahaya


Cinta dan Kehendak Merupakan Pokok Setiap Agama

Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, yaitu cinta dan kehendak itu pokok setiap perbuatan, maka pada pasal ini kami akan menjelaskan bahwa cinta dan kehendak juga pokok setiap agama, baik yang haq maupun yang bathil. Sesungguhnya, setiap agama terbentuk dari rangkaian amal, baik perbuatan lahir maupun batin.

Sementara, cinta dan kehendak adalah pokok semua itu. Agama merupakan ketaatan, ibadah, dan akhlak. Ringkasnya, amal ialah ketaatan yang lazim dan terus-menerus sehingga menjadi akhlak dan kebiasaan. Maka, akhlak ditafsirkan dengan agama dalam ayat:

وَإِنَّكَ لَعَلَى خُلُقٍ عَظِيمٍ

“Dan sesungguhnya engkau benar-benar, berbudi pekerti yang luhur.” (QS. Al-Qalam: 4)

Imam Ahmad berkata: “Dari Ibnu Uyainah, Ibnu Abbas berkata: “Maksudnya, kamu benar-benar berada di atas ad-dien (agama )yang agung.”⁴⁶⁴

Ketika ditanya tentang akhlak Rasulullah, Aisyah menjawab: “Akhlak beliau adalah al-Qur-an.”⁴⁶⁵

Ad-Dien bermakna kerendahan atau paksaan; juga kehinaan, ketundukan, dan ketaatan. Karena itu, ad-dien bermakna dari yang tinggi kepada yang rendah. Hal ini sebagaimana ungkapan: )دِئْتُهُ فَدَانَ ( yang artinya: “Aku memaksanya sehingga ia menjadi hina.”

Seorang penya’ir berkata: ia menundukkan sekumpulan orang yang tidak mau taat, kepada agama sehingga mereka taat kembali

Ad-Dien juga bermakna dari rendah kepada yang tinggi, seperti dalam ungkapan:

دِنْتُ اللهَ وَ دِنْتُ لِلهِ ، وَفُلَانٌ لَا يَدِينُ اللَّهَ دِينًا وَلَا يَدِينُ لِلَّهِ بِدِيْنِ فَدَانَ اللَّهَ .

“Aku menaati Allah dan aku menaati karena Allah. Tidaklah Fulan menaati Allah dengan ketaatan, tidak juga taat karena Allah dengan suatu ketaatan, hingga dia (benar-benar) menaati-Nya.”

Maksudnya adalah menaati Allah, mencintai-Nya, dan takut kepada-Nya.” Adapun arti ( دَانَ الله ( adalah: “Khusyu’, tunduk, menghinakan diri, dan patuh kepada-Nya.”

Ad-Dien secara batin pasti mengandung kecintaan dan ketundukan, sama halnya dengan ibadah. Berbeda dengan ad-dien secara lahir, yang belum tentu mengandung kecintaan meskipun secara kasat mata terlihat kepatuhan dan kehinaan.

Allah menamakan hari Kiamat dengan Yaumuddin karena manusia mendapatkan balasan dari amal-amal mereka pada hari itu. Jika amal tersebut baik, maka balasannya pun baik. Begitu pula, jika amal itu buruk, maka balasannya juga buruk. Hal ini mengandung ganjaran dan perhitungan atas mereka. Oleh karena itu, hari tersebut ditafsirkan dengan hari Pembalasan dan hari Perhitungan.

Allah berfirman:

فَلَوْلَا إِن كُنتُمْ غَيْرَ مَدِينِينَ تَرْجِعُونَهَا إِن كُنتُمْ صَادِقِينَ ))

“Maka mengapa jika kamu memang tidak dikuasai (oleh Allah), kamu tidak mengembalikannya (nyawa itu) jika kamu orang yang benar?” (QS. Al-Waqi’ah: 86-87)

Maksudnya, kembalikanlah nyawa tersebut ke tempatnya jika kalian memang tidak diciptakan, tidak dikuasai, dan tidak mendapat balasan dari Allah.

Ayat di atas membutuhkan penafsiran. Sebab, ayat ini dijadikan hujjah (dalil) untuk menyanggah manusia yang mengingkari adanya kebangkitan dan hisab.

Dengan demikian, dalil ini menjadi sesuai dengan apa yang ditunjukinya, hingga pikiran akan langsung tertuju kepada hal itu, karena adanya keterkaitan di antara keduanya. Jadi, setiap dalil menunjukkan sesuatu yang menjadi konsekuensinya, tetapi tidak sebaliknya.

Sisi argumentasinya ialah apabila manusia mengingkari adanya kebangkitan dan pembalasan, maka mereka telah kafir kepada Rabb, sekaligus mengingkari kekuasaan, rububiyyah, serta hikmah-Nya.

Mereka seharusnya mengakui bahwa mereka mempunyai Rabb yang berkuasa, mengatur, menghidupkan, dan mematikan mereka sebagaimana yang dikehendaki-Nya. Dia memberikan perintah dan larangan, juga memberikan pahala kepada orang yang berbuat baik dan menghukum orang yang berbuat keburukan.

Sekiranya mereka mengakui Rabb yang melakukan urusan-Nya seperti itu, niscaya mereka akan beriman terhadap kebangkitan dan pembalasan, juga perintah dan balasan. Jika hal ini mereka ingkari, maka mereka dianggap telah kafir kepada-Nya. Dengan kata lain, mereka mengklaim tidak pernah diciptakan, tidak pula dihukumi, serta tidak mempunyai Rabb yang mengatur mereka sebagaimana dikehendaki-Nya.

Apabila demikian keyakinannya, mengapa mereka tidak menolak kematian yang datang dan tidak mengembalikan roh ke tempatnya semula ketika telah mencapai tenggorokan?

Inilah seruan untuk orang-orang yang hadir di sisi seseorang yang sedang berada di ambang kematian, yaitu ketika tengah menyaksikan detik-detik kematian. Maknanya: “Silakan kalian mengembalikan rohnya ke tempat ia semula berada, jika kalian memang mempunyai kekuasaan dan wewenang, sekiranya kalian memang tidak diciptakan serta tidak dikuasai oleh Dzat yang Mahakuasa, dan hukum serta perintah-Nya tidak berlaku atas kalian.”

Seruan ini adalah sebaik-baik pernyataan yang menunjukkan dengan tegas kelemahan mereka. Sebab, sudah jelas bahwa mereka tidak akan mampu mengembalikan roh dari suatu tempat ke tempat yang lain, sekalipun satu roh saja; bahkan meskipun jin dan manusia bergabung untuk melakukan hal tersebut.

Duhai, betapa indahnya ayat ini, yang menunjukkan rububiyyab-Nya, keesaan-Nya, pengaturan-Nya, dan hukum-Nya yang berlaku terhadap para hamba-Nya.

Dien (agama) itu terbagi menjadi dua:
1. Dien syariat dan perintah.
2. Dien hisab dan pembalasan.

Kedua dien itu milik Allah. Agama memang semata-mata milik Allah, baik berupa perintah maupun balasan, dan cinta merupakan pokok kedua dien tersebut. Sebab, Allah mencintai dan meridhai seluruh yang disyariatkan dan diperintah-Nya. Allah juga membenci apa-apa yang dilarang-Nya karena hal itu meniadakan perkara yang diridhai-Nya.

Allah mencintai lawan dari larangan tersebut. Maka itu, seluruh perintah dien kembali kepada cinta dan ridha-Nya. Agama seorang hamba akan diterima hanya jika bersumber dari cinta dan keridhaan. Sebagaimana sabda Nabi :

(( ذَاقَ طَعْمَ الْإِيْمَانِ مَنْ رَضِيَ بِاللهِ رَبًّا، وَبِالْإِسْلَامِ دِينًا، وَبِمُحَمَّدٍ رَسُوْلًا ))

“Akan merasakan kelezatan iman seseorang yang ridha terhadap Allah sebagai Rabbnya, Islam sebagai agamanya, dan Muhammad sebagai Rasulnya.”⁴⁶⁶

Dien syariat dan perintah ini tegak dengan adanya cinta. Disebabkan cintalah dan karena cintalah dien ini disyariatkan, serta di atas cintalah dien ini dibangun. Begitu pula dengan dien pembalasan. Sebab, ia mengandung balasan kepada orang yang berbuat baik dengan perbuatan baiknya, juga balasan kepada orang yang berbuat buruk dengan perbuatan buruknya.

Meskipun demikian, kedua hal itu dicintai-Nya karena itulah karunia dan keadilan-Nya. Keduanya merupakan sifat kesempurnaan-Nya, sedangkan Allah mencintai sifat dan nama-Nya, juga mencintai orang- orang yang cinta terhadap nama dan sifat-Nya.

Kedua dien tersebut adalah jalan-Nya yang lurus, yang Allah berada di atasnya, baik dalam perintah, larangan, pahala, maupun hukuman. Hal ini sebagaimana pengabaran Allah tentang Nabi-Nya, Hud, tatkala beliau berkata kepada kaumnya:

… إِنِّي أُشْهِدُ اللَّهَ وَأَشْهَدُوا أَنِّي بَرِيءٌ مِمَّا تُشْرِكُونَ ) مِن دُونِهِ، فَكِيدُونِي جَمِيعًا ثُمَّ لَا تُنظِرُونِ (٥) إِنِّي تَوَكَّلْتُ عَلَى اللَّهِ رَبِّي وَرَبِّكُم مَّا مِن دَابَّةٍ إِلَّا هُوَ وَاخِذٌ بِنَاصِيَتِهَا إِنَّ رَبِّي عَلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ )

“… Sesungguhnya aku bersaksi kepada Allah dan saksikanlah bahwa aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan, dengan yang lain, sebab itu jalankanlah semua tipu dayamu terhadapku dan jangan kamu tunda lagi. Sesungguhnya aku bertawakal kepada Allah Rabbku dan Rabbmu. Tidak satu pun makhluk bergerak yang bernyawa melainkan Dialah yang memegang ubun-ubunnya (menguasainya). Sungguh, Rabbku di jalan yang lurus (adil).” (QS. Hud: 54-56)

Nabi Allah Huda mengetahui bahwa Rabbnya di atas jalan-Nya yang lurus, yaitu dalam penciptaan, perintah, larangan, pahala, hukuman, ketentuan takdir, pencegahan, pemberian, keselamatan, ujian, taufik, dan penghinaan.

Semua itu tidak keluar dari tuntutan kesempurnaan-Nya yang suci, sesuai dengan nama-nama dan sifat-Nya, yaitu, keadilan, hikmah, kasih sayang, kebaikan, karunia, pahala, hukuman, taufik, penghinaan, pemberian, pencegahan, hidayah, dan kesesatan, masing-masing pada tempatnya yang semestinya.

Sungguh, Allah berhak mendapat kesempurnaan pujian dan sanjungan atas semua ini, namun hal ini membutuhkan ilmu dan pengetahuan tentang-Nya. Oleh karena itu, beliau menyeru kaumnya dengan hati yang teguh dan tanpa rasa takut, bahkan dengan penuh tawakkal kepada-Nya:

… إني أُشْهِدُ اللَّهَ وَاشْهَدُوا أَنِّي بَرِيءٌ مِمَّا تُشْرِكُونَ ) مِن دُونِهِ، فَكِيدُونِي جَمِيعًاثُمَّ لَا تُنظِرُونِ (٥) إِنِّي تَوَكَّلْتُ عَلَى اللَّهِ رَبِّي وَرَبِّكُم مَّا مِن دَابَّةٍ إِلَّا هُوَ وَاحِدٌ بِنَاصِيَتِهَا إِنَّ رَبِّي عَلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ )

“Sesungguhnya aku bersaksi kepada Allah dan saksikanlah bahwa aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan, dengan yang lain, sebab itu jalankanlah semua tipu dayamu terhadapku dan jangan kamu tunda lagi. Sesungguhnya aku bertawakal kepada Allah Rabbku dan Rabbmu. Tidak satu pun makhluk bergerak yang bernyawa melainkan Dialah yang memegang ubun-ubunnya (menguasainya), Sungguh, Rabbku di jalan yang lurus (adil).” (QS. Hud: 54-56)

Beliau menerangkan keumuman kekuasaan Allah terhadap selain-Nya, berikut kehinaan segala sesuatu di hadapan keagungan-Nya:

مَا مِن دَابَّةٍ إِلَّا هُوَ وَاخِذُ بِنَاصِيَتِهَا إِنَّ رَبِّي عَلَى صِرَاطٍ مُّسْتَقِيمٍ )))

“… Tidak ada suatu binatang melata pun melainkan Dialah yang memegang ubun-ubunnya. Sesungguhnya Rabbku di atas jalan yang lurus.” (QS. Hud: 56)

Maka bagaimana mungkin aku (Hud) takut kepada orang yang ubun-ubunnya berada di tangan selain-Nya, sementara orang tadi berada dalam genggaman dan kekuasaan-Nya. Tentulah perkara tersebut merupakan kebodohan yang sangat dan kezhaliman yang paling buruk.

Kemudian, beliau mengabarkan bahwa Allah di atas jalan yang lurus dalam keputusan dan takdir-Nya.

Oleh sebab itu, seorang hamba tidak perlu merasa khawatir bahwa Dia tidak berbuat adil dan menzhaliminya. Aku tidak takut kepada selain-Nya karena ubun-ubun mereka berada di tangan-Nya. Aku pun tidak khawatir Allah akan berbuat zhalim karena Dia di atas jalan yang lurus.

Hukum Allah berlaku bagi hamba-Nya dan ketetapan-Nya adil terhadap hamba-Nya.

Milik-Nyalah seluruh kerajaan dan pujian. Pengaturan-Nya terhadap para hamba-Nya tidaklah keluar dari keadilan dan karunia.

Jika Dia memuliakan dan memberi petunjuk serta taufik, maka semua anugerah ini disebabkan kasih sayang dan karunia-Nya.

Demikian pula, andai Allah menahan pemberian, menghinakan, menyesatkan, dan menyengsarakan hamba-Nya, maka hal itu pun disebabkan hikmah dan keadilan-Nya. Dengan kata lain, Allah berada di atas jalan yang lurus dalam hal ini maupun hal itu.

Disebutkan dalam hadits yang shahih:

(( مَا أَصَابَ عَبْدًا قَط هَمْ وَلَا حُزْنٌ، فَقَالَ : اللَّهُمَّ إِنِّي عَبْدُكَ ابْنُ عَبْدِكَ ابْنُ أَمَتِكَ، نَاصِيَتِي بِيَدِكَ، مَاضٍ فِيَّ حُكْمُكَ، عَدْلٌ فِي قَضَاؤُكَ، أَسْأَلُكَ اللَّهُمَّ بِكُلِّ اسْمٍ هُوَ لَكَ سَمَّيْتَ بِهِ نَفْسَكَ، أَوْ أَنْزَلْتَهُ فِي كِتَابِكَ، أَوْ عَلَّمْتَهُ أَحَدًا مِنْ خَلْقِكَ، أَوِ اسْتَأْثَرْتَ بِهِ فِي عِلْمِ الْغَيْبِ عِنْدَكَ : أَنْ تَجْعَلَ الْقُرْآنَ العَظِيمَ رَبِيعَ قَلْبِي، وَنُورَ صَدْرِي، وَجَلَاءَ حُزْنِي، وَذَهَابَ هَتِي وَغَنِي، إِلَّا أَذْهَبَ اللهُ هَمَّهُ وَغَمَّهُ وَأَبْدَلَهُ مَكَانَهُ فَرَجًا )) قَالُوا : يَا رَسُولَ اللهِ! أَلَا نَتَعَلَّمَهُنَّ ؟ قَالَ : (( بَلَى ، يَنْبَغِي لِمَنْ سَمِعَهُنَّ أَنْ يَتَعَلَّمَهُنَّ ))

“Tidaklah seorang hamba ditimpa oleh kegundahan dan kesedihan, lantas ia berkata: ‘Ya Allah, aku adalah hamba-Mu, anak dari hamba pria-Mu, anak dari hamba wanita-Mu. Ubun-ubunku di tangan-Mu. Hukum-Mu berlaku terhadapku. Ketetapan-Mu adil bagiku. Ya Allah, aku meminta kepada-Mu dengan seluruh nama yang menjadi milik-Mu, yang Engkau menamakan diri-Mu dengannya, atau yang Engkau turunkan dalam kitab-Mu, atau yang Engkau ajarkan kepada seorang dari makhluk-Mu, atau yang Engkau khususkan dalam ilmu ghaib di sisi-Mu. Jadikanlah al-Qur-an yang mulia sebagai penyejuk hatiku, cahaya dadaku, dan penghilang kesedihanku, kegundahanku, serta kesulitanku, melainkan Allah akan menghilangkan kesulitan dan kegundahannya, serta menggantikan semua itu dengan jalan keluar. Kemudian para Sahabat bertanya: ‘Wahai Rasulullah, perlukah kami mempelajarinya?” Nabi menjawab: ‘Benar, orang yang mendengarnya selayaknya mempelajarinya.””⁴⁶⁷

Hal ini mencakup hukum Allah yang berlaku di alam dan hukum Allah yang berupa perintah; juga mencakup ketetapan Allah yang terjadi dengan kehendak hamba maupun di luar kehendaknya. Kedua hukum berlaku terhadap seorang hamba dan kedua ketetapan tersebut adil baginya. Hadits di atas diambil dari ayat sebelumnya sebab keduanya memiliki korelasi yang sangat dekat.

***

~ Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’ ~

⁴⁶⁴ Hal senada dari Ibnu Abbas diriwayatkan oleh Ibnu Jarir, Ibaul Mundzir, Ibnu Abi Hatim, dan Ibnu Mardawaih. Riwayat ini tercantum dalam kitab ad-Durrul Mantsir (VIII/243). Lihat juga Tafsir Ibni Katsir (VIII/214).
⁴⁶⁵ HR. Muslim (no. 746).
⁴⁶⁶ HR. Muslim (no. 34).
⁴⁶⁷ HR. Ahmad (1/391 dan 452), Ibnu Hibban (no. 972), ath-Thabrani dalam al-Kabir (no. 10352), al-Hakim (1/509), dan Abu Ya’la (no. 5297), dari Abdullah bin Mas’ud, dengan sanad shahih. Untuk mendapatkan tambahan faedah, lihat kitab Silsilatul Ahadits adh-Dhaifah (no. 199) karya guru kami, al-Albani.



Leave a comment