Belajar Islam

Cahaya di Atas Cahaya


Al ‘Aqidah Al Wāsithiyyah: Halaqah 015| Beriman Kepada Allāh ‘Azza Wa Jalla (Bagian 03) | BiAS

بسم اللّه الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته
الحمد لله ربّ العالمين والصلاة والسلام على أشرف الأنبياء والمرسلين

Sahabat BiAS sekalian, saudara muslimin dan muslimat.

Alhamdulilāh, kita telah sampai pada halaqah yang ke-15, kita melanjutkan rangkaian silsilah dari kitāb “Al ‘Aqidah Al Wāsithiyah” (العقيدة الواسطية) karangan Syaikhul Islām Ibnu Taimiyyah rahimahullāh (Ahmad ibn Abdil Halīm Al Harrānī)

Pada pertemuan sebelumnya kita telah membahas perkataan Ibnu Taimiyyah rahimahullāh mengenai hal-hal yang termasuk mengimani sifat-sifat Allāh Subhānahu wa Ta’āla.

Yaitu mengimani dengan apa yang Allāh sifatkan akan diri-Nya, baik dalam kitāb-Nya dan juga dengan apa yang Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam sifatkan di dalam hadītsnya sebagaimana yang diwahyukan kepada Beliau (shallallāhu ‘alayhi wa sallam).

Sehingga Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam tahu bagaimana sifat Allāh Subhānahu wa Ta’āla bukan dari pikiran Beliau (shallallāhu ‘alayhi wa sallam), melainkan dari wahyu yang Allāh berikan kepada Beliau (shallallāhu ‘alayhi wa sallam). Tanpa menyelewengkan maknanya dan juga tanpa membatalkan sifat tersebut.

Kemarin kita telah bahas bahwa tahrīf adalah lanjutan dari ta’thīl, dalam artian orang yang melakukan tahrīf (menyelewengkan makna atau mengganti makna) sebelumnya terlebih dahulu dia melakukan ta’thil.

Misalnya:

Allāh memiliki tangan, mereka akan menta’thīl dulu dengan mengatakan, “Tidak, Allāh tidak memiliki tangan,” mereka akan menafīkan dahulu sifat Allāh Subhānahu wa Ta’āla.

Kemudian mereka mentahrīf, “Tangan disini maksudnya adalah nikmat atau rahmat Allāh Subhānahu wa Ta’āla.” Yang telah keluar dari apa yang Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam dan Allāh Subhānahu wa Ta’āla terangkan.

Untuk pertemuan kali ini kita akan lanjutkan pembahasan tentang mengimani Allāh Subhānahu wa Ta’āla selain mengimani nama dan sifat Allāh Subhānahu wa Ta’āla tanpa tahrīf dan ta’thīl juga tanpa takīf dan tanpa tamstsil.

Poin selanjutnya adalah:

من غير تكييف ولا تمثيل

⑸ Dan mengimani juga tanpa takyīf (menentukan teknisnya, bagaimana) dan juga dalam mengimani sifat tersebut tanpa tamtsīl (menyamakan Allāh dengan makhluk-Nya).

Takyīf maksudnya adalah menanyakan bagaimana teknisnya. Misalnya Allāh Subhānahu wa Ta’āla di dalam beberapa ayat (seperti), “Allāh beristiwā di atas Arsy.”

Maka kita mengimani beristiwā’ ini sebagaimana kita imani tanpa kita takrīf tanpa kita ta’thīl, hanya saja istiwā’nya Allāh berbeda dengan manusia.

Istiwā’ disini sesuai dengan keagungan Allāh Subhānahu wa Ta’āla. Maka jika ada yang menanyakan, “Bagaimana istiwā’nya Allāh?” Apakah dengan cara (maaf) sila, duduk? (na’ūdzu billāhi) semoga kita terhindar dari perkataan semacam ini.

Inilah yang disebut takyīf. Dan ini dilarang karena telah menanyakan teknis.

Kalau bertanya, “Apa itu istiwā’?’ Maka ini diperbolehkan.

Tetapi jika bertanya teknisnya, misalnya:

√ Bagaimana tangan Allāh?
√ Berapa jumlah jarinya?

Maka ini tidak diperbolehkan, karena masuk dalam pengertian takyīf dan ini tidak dibenarkan.

Seorang salaf (Imām Mālik) yang merupakan guru dari Imām Syāfi’i pernah ditanya tentang ayat ini.

“Bagaimana istiwā’ itu?”

Kemudian Imām Mālik berkata, “Istiwā’ itu sudah diketahui maknanya secara bahasa, tetapi bagaimananya tidak diketahui. Mengimaninya adalah wajib dan mempertanyakannya adlah bid’ah.”

Perkataan ini (perkataan Imām Mālik) adalah kaidah bagi seluruh sifat-sifat Allāh.

Kaidah ini tidak khusus untuk istiwā’.

Kaidah: “Istiwā’ sudah diketahui maknanya (maklum) dan bagaimana teknisnya adalah majhul (tidak kita ketahui).”

Allāh Subhānahu wa Ta’āla tidak memberi tahu akan hal ini. Ini berlaku juga bagi semuanya (sifat Allāh yang lain).

Selanjutnya:

ولا تمثيل

⑹ “Dan tidak melakukan tamtsil (menyamakan) sifat Allāh dengan sifat makhluk”

Jika tahrīf menafīkan misalnya “Allāh tidak memiliki tangan.” Sedangkan tamtsīl adalah kebalikannya, “Allāh memiliki tangan, tetapi tangan Allāh seperti tangan makhluk,” ini yang salah karena telah menetapkan tangan bagi Allāh sama dengan yang dimiliki makhluk.

Tamtsīl ini merupakan perbuatan kufur, dalīlnya adalah:

Firman Allāh Subhānahu wa Ta’āla:

لَيْسَ كَمِثْلِهِۦ شَىْءٌۭ ۖ وَهُوَ ٱلسَّمِيعُ ٱلْبَصِيرُ

“Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dialah yang Maha Mendengar dan Melihat.” (Qs. Asy Syūrā: 11)

Ketika Allāh mendahulukan menyatakan tidak ada yang serupa dengan-Nya, dan Allāh Maha Melihat dan Maha Mendengar l, ini merupakan isyarat. Dan kita paham, bahwa melihat, mendengarnya Allāh di sini tidak serupa dengan mendengar dan melihatnya manusia.

Begitu pula dengan nama-nama dan sifat-sifat Allāh yang lainnya.

Demikian halaqah yang bisa disampaikan kali ini, yaitu untuk menjelaskan perkatan Ibnu Taimiyyah bahwa mengimani Allāh Subhānahu wa Ta’āla dengan apa yang Allāh dan Rasūl-Nya sifatkan tanpa ada tahrīf, ta’thīl, takyīf dan tamtsīl (menyerupakan Allāh dengan makhluk).

وصلاة وسلم على نبينا محمد و آله وصحبه أجمعين
والسلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته

 Ustadz Rizqo Kamil Ibrahim, Lc



Leave a comment