Belajar Islam

Cahaya di Atas Cahaya


Al ‘Aqidah Al Wāsithiyyah: Halaqah 002| Muqaddimah – Sekilas Biografi Penulis Kitab | BiAS

السلام عليك ورحمة اللّه وبركاته
الحمد لله رب العالمين والصلاة والسلام على أشرف الأنبياء والمرسلين وعلى آله وصحبه أجمعين، ومن تبعهم باحسان الى يوم الدين

Sahabat BiAS yang dirahmati oleh Allāh Subhānahu wa Ta’āla.

Alhamdulilāh, Sahabat BiAS sekalian, di halaqah yang ke-2 ini dalam kajian kitāb “Al ‘Aqidah Al Wāsithiyyah” (العقيدة الواسطية), kita akan membahas tentang sosok di balik Al ‘Aqidah Al Wāsithiyyah.

Al ‘Aqidah Al Wāsithiyyah ini dikarang dalam rentang waktu yang cukup singkat yaitu antara waktu dhuhur dan ashar. Tentu ini akan memancing rasa ingin tahu kita akan siapa sosok dibalik Al ‘Aqidah Al Wāsithiyyah.

Kenapa ?

Karena, bagaimana kitāb yang memuat pokok-pokok aqidah ahlussunnah waljamā’ah yang disertai dalīl, hadīts dan dihapal oleh ulamā di zaman kekinian atau zaman sebelumnya dan dijelaskan maksudnya, (termasuk di negara kita) hanya dikarang dalam rentang waktu sedikit. Tentu ini membuat kita ingin tahu siapa sosok penulis kitāb tersebut.

Sahabat BiAS sekalian,

Sebagaimana telah kita ketahui bersama, bahwa Al ‘Aqidah Al Wāsithiyyah ini dikarang oleh Imām Ibnu Taimiyyah (Syaikhul Islām Ibnu Taimiyyah).

Syaikhul Islām adalah gelar yang diberikan kepada beliau dan juga gelar yang diberikan kepada ulamā-ulamā sebelum beliau yang pantas menerima gelar ini. Bahkan Abū Bakar dan ‘Umar juga mendapatkan gelar Syaikhul Islām.

Ibnu Taimiyyah bukanlah nama asli beliau, nama asli beliau adalah Ahmad dan ayah beliau adalah Abdul Halim. Taimiyyah ini mungkin adalah nenek beliau yang mungkin dari jalur agak jauh dari beliau, karena ayah dan kakek beliaupun dinisbatkan kepada Taimiyyah (keluarga beliau disebut keluarga Taimiyyah)

Keluarga Taimiyyah ini adalah keluarga ulamā, kakek beliau Ahmad Ibnu Abdul Halim adalah ulamā, beliau mengarang kitāb Muntaqa Al Akhbar, yang sekarang ada ulamā yang mencoba menjelaskan hadīts-hadīts.

Jadi kitab Muntaqal Al Akhbar adalah kitāb kumpulan hadīts dan hadīts-hadīts yang dikumpulkan oleh kakek Ibnu Taimiyyah ini dijelaskan arti hadīts (maknanya) oleh Imām Syaukani dan diberi nama Nailul Authar.

Jadi penjelasan hadīts-hadīts tersebut, kitābnya diberi nama Nailul Authar. Tentu beberapa dari kita tidak asing dengan nama Nailul Authar ini.

Ayah beliau pun adalah ulamā, maka tidak heran di keluarga Taimiyyah ini lahir seorang Syaikhul Islām yaitu Ibnu Taimiyyah.

Keluasan ilmu-ilmu Ibnu Taimiyyah sudah tidak dipungkiri lagi, ini juga bisa terlihat dari murid-murid yang ditelurkan oleh beliau.

Kalau kita bicara tentang tafsir tentu banyak nama yang akan berputar di kepala kita, salah satu nama yang mungkin akan kita ingat ketika kita mendengar kata tafsir adalah tafsir Ibnu Katsīr.

Ibnu Katsīr adalah murid dari Ibnu Taimiyyah, meskipun secara fiqih beliau banyak berpandangan dengan madzhab syāfi’i, berbeda dengan Ibnu Taimiyyah yang lebih dekat atau lebih banyak mengambil madzhab Imām Ahmad atau Imām Hambali.

Kalau kita berbicara tentang tazkiyatun nufus atau kesucian jiwa dan sebagainya banyak nama juga, salah satunya yang mungkin kita ingat adalah Imām Ibnu Qayyim Al Jauziyyah. Beliau adalah murid Ibnu Taimiyyah bahkan murid setianya.

Atau misalnya dalam sejarah atau dalam biografi ulamā, yang menyusun biografi ulamā atau mungkin sahālabat BiAS pernah membaca artikel (buku) lalu ada di situ disebutkan sekilas biografi ulamā lalu dicatatan kaki disebutkan bahwa biografi tersebut diambil dari kitāb Syiar A’lamin Nubala.

Kitāb Syiar A’lamin Nubala ini adalah karangan Imām Adz-Dzahabi dan beliau (Imām Adz Dzahabi) adalah murid dari Ibnu Taimiyyah. Dan masih banyak murid Ibnu Taimiyyah yang lain yang menunjukkan luasnya ilmu sang guru.

Keluasan ilmu, selain dilihat dari muridnya juga dilihat dari karya-karyanya. Beliau banyak memiliki karya, terlebih karya-karya yang itu menjelaskan tentang ‘aqidah dan bantahan terhadap ‘aqidah-‘aqidah menyimpang.

Mungkin karena beliau sangat intens menjaga kaum muslimin dari ‘aqidah yang rusak sehingga ada beberapa orang yang kurang suka dengan beliau. Sehingga mungkin bila sahabat BiAS pernah menemukan misalnya orang yang menulis sesuatu yang jelek tentang Ibnu Taimiyyah atau menuliskan beberapa sejarah-sejarah tentang Ibnu Taimiyyah maka kita harus kroscek, apakah benar atau tidak ?

Karena bisa jadi tulisan-tulisan tersebut dibangun atas subyektifitas semata atau tidak adil dalam memandang permasalahan atau diambil dari informasi yang salah dan sebagainya. Maka kita perlu berhati-hati, kita perlu cerdas dalam memilah-milah informasi.

Selain karya-karya beliau juga keseharian beliau. Beliau merupakan ahli ibadah, ahli dzikir. Oleh karena itu Ibnu Qayyim pernah berujar:

“Ibnu Taimiyyah bisa mengarang karya dalam waktu singkat yang mungkin kalau kami yang mengarang akan memerlukan waktu yang panjang.”

Karena luar biasa ilmu beliau dan ibadah juga dzikir beliau, bahkan beliau (Ibnu Taimiyyah) pernah mengatakan bahwa, “Dzikir bagi beliau seperti asupan (nutrisi).”

Ibnu Taimiyyah adalah seorang ulamā yang memiliki pemahaman yang dalam akan syari’at ini, akan ayat Allāh, akan dzikir, akan hikmah-hikmah. Salah satunya ketika beliau ditanya tentang maksud do’a istiftah.

Kenapa Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam ketika membaca do’a istiftah mengunakan redaksi (yaitu) meminta dibersihkan dengan air, es dan juga embun.

Ketika itu Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam berdo’a:

اللَّهُمَّ اغْفِرْ لى بِالْمَاءِ وَالثَّلْجِ وَالْبَرَدِ

Kenapa tidak memakai air panas?

Air panas kan lebih cepat dalam menghilangkan kotoran?

Ketika itu Ibnu Taimiyyah menjawab pertanyaan dari Ibnul Qayyim, karena menurut beliau (Ibnu Taimiyyah) bahwa tubuh ketika berbuat dosa itu panas, maka memerlukan sesuatu yang meredakannya. Dan tubuh setelah melakukan maksiat atau dosa dia akan lemas (loyo) sehingga memerlukan sesuatu yang menyegarkannya.

Sehingga menurut beliau (Ibnu Taimiyyah), itulah hikmah Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam menggunakan redaksi memilih disucikan dengan air dingin dan sebagainya.

Tentu ini hikmah dalam artian bukan sebab kenapa hal itu disyari’atkan, tentu hanya Allāh yang tahu.

Ibnu Taimiyyah mencoba mencari apa sih hikmahnya minta dibersihkan dengan air, es dan juga embunn?

Ini menunjukkan dalamnya beliau memahami syari’at ini.

Masih banyak hal tentunya, tetapi bisa digali sendiri oleh sahabat BiAS sekalian. Selain tentunya kita membaca biografi atau sejarah kekasih kita Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam, kita juga perlu membaca (melihat) sejarah dari Imām Ibnu Taimiyyah ini.

Ibnu Taimiyyah wafat tahun 728 Hijriyyah, di Syiria, ketika itu banyak sekali yang hadir dipemakaman beliau. Ini menunjukkan betapa manusia kala itu sangat mencintai beliau.

Ini saja yang bisa saya sampaikan, kurang lebihnya saya mohon maaf.

وصلاة وسلم على نبينا محمد و آله وصحبه أجمعين
والسلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته

Ustadz Rizqo Kamil Ibrahim, Lc.



Leave a comment